Di antara hal baru (bid'ah) yang menjadi keyakinan kelompok Wahabiyah
yang dimunculkan pertama kali oleh Muhammad ibn Abdul Wahab adalah diharamkannya
membaca shalawat atas Rasulullah bagi mu'adzdzin setelah adzan dengan
suara keras. Masalah ini mereka anggap sebagai masalah yang sangat serius hingga
salah satu di antara mereka ketika berada di masjid jami' Ad-Daqqaq di Syam dan
mendengar seorang muadzdzin membaca shalawat kepada Rasul setelah adzan
"Ash-Shalatu was-Salamu 'alayka ya Rasulallah" orang wahhabi itu dengan
lantang berkata: "Ini haram, sama halnya dengan orang yang menikahi ibunya".
Kejadian ini terjadi pada sekitar 40 tahunan yang silam. Keseriusan kelompok
wahhabiyah dalam mengharamkan bacaan shalawat atas Rasul setelah adzan
seakan-akan mereka mengingkari sebuah kekufuran atau bahkan mereka menganggap
itu sebuah kekufuran, karena masalah ini muncul dari pimpinan mereka Muhammad
ibn Abdul Wahhab yang pernah memerintahkan anak buahnya untuk membunuh seorang
mu'adzdzin buta karena membaca shalawat atas Rasul setelah
adzan.
Kita katakan kepada mereka: ada dua hadits tsabit dari Rasulullah yang
menjadi dasar dibolehkannya membaca shalawat atas Rasul setelah adzan; salah
satunya adalah hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: "Jika kalian
mendengar suara adzan maka ucapkanlah sebagaimana diucapkannya kemudian
bershalawatlah untukku". Yang kedua adalah hadits yang dikeluarkan oleh al
Hafizh Abu ya'la dalam Musnadnya Rasulullah bersabda: "Barang siapa mendengar
namaku disebutkan maka bershalawatlah untukku" dalam riwayat lain
disebutkan: "Barang siapa mendengar namaku disebutkan di sisinya maka bacalah
shalawat atasku", maka dengan
demikian sanad dari hadits ini menjadi kuat dan tidak diperselisihkan lagi
keshahihan hadits ini.
Dari dua hadits shahih di atas dapat disimpulkan baik Mu'adzdzin atau yang mendengarnya (mustami') kedua-duanya dianjurkan untuk membaca shalawat atas nabi dengan suara
lirih atau keras. Jika kemudian dikatakan bukankan para mu'adzdzin di zaman
Rasulullah tidak pernah membaca shalawat atas nabi dengan suara keras?!, maka
kita katakan juga kepadanya: Rasulullah tidak pernah melarang umatnya untuk
membaca shalawat atasnya kecuali dengan suara pelan. Tidak semua hal yang tidak
dilakukan di masa Rasulullah hukumnya haram atau makruh, melainkan harus ada
dalil yang mengharamkannya atau ada ijtihad ulama mujtahid seperti Imam Abu
Hanifah, Malik, Syafi'i Ahmad dan ulama-ulama lainnya yang telah mencapai
kreteria seorang mujtahid yakni yang telah mencapai syarat-syarat seseorang
menjadi mujtahid seperti Ibn Mundzir, Ibn Jarir dan lain-lain. Mengeraskan suara
dalam membaca shalawat setelah adzan telah menjadi tradisi umat Islam dari masa
ke masa karena itu para ulama hadits dan ulama fiqh menganggapnya sebagai bid'ah
hasanah yaitu hal baru dalam Islam yang baik untuk dilakukan. Di antara ulama
yang menganggapnya bid'ah hasanah adalah al Hafizh as-Sakhawi dalam kitabnya
"Al-Badi" ia berkata:
"Para mu'adzdzin telah melakukan hal baru dengan membaca shlawat atas
Rasulullah setelah adzan pada setiap masuk waktu shalat fardhu kecuali pada
waktu shubuh dan jum'at hanya saja mereka mendahulukan bacaan shalawatnya dan
waktu maghrib mereka tidak membacanya karena waktunya yang singkat. Hal ini
terjadi pertama kali pada masa kepemimpinan Raja Shalahuddin al-Ayyubi dan ia
memerintahkan hal tersebut".
Kemudian as-Sakhawi berkata:
"Masalah ini kemudian diperdebatkan di kalangan ulama apakah sunnah,
makruh, bid'ah atau disyari'atkan. Pendapat yang mengatakan membaca shalawat
atas Rasul setelah adzan adalah sunnah menggunakan dalil firman Allah surat
al-Hajj ayat 77 yang maknanya: "Berbuatlah kalian akan kebaikan" dan membaca
shalawat adalah di antara kebaikan yang agung yang bisa mendekatkan diri kepada
Allah apalagi banyak hadits yang memberikan motifasi untuk bershalawat juga
hadist yang menyebutkan keutamaan doa setelah adzan, sepertiga malam dan waktu
yang mendekati shubuh. Dan pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bid'ah
hasanah, pelakunya akan mendapatkan pahala dengan ketulusan
niat.
Pernyataan as-Sakhawi ini dinukil oleh shabib al Mawahib al Jalil al
Khaththab al Maliki dan ia menyetujuinya.
As-Suyuthi dalam al Wasa'il fi Musamarah al Awa'il berkata: "Membaca shalawat dan salam atas Rasulullah setiap setelah adzan terjadi
pertama kali di al Manarah pada masa raja al Manshur Haji ibn al Asyraf Sya'ban
ibn Husain ibn an Nashir Muhammad ibn al Manshur Qalawuun atas perintah al
Muhtasib Najmuddin ath-Thambadi pada bulan Sya'ban tahun 771 H. Setelah
sebelumnya juga dikumandangkan pada masa raja Shalahuddin al Ayyubi pada setiap
malam sebelum adzan shubuh di negara Mesir dan Syam dengan lafazh "as-Salamu
'ala Rasulillah". Hal itu berlanjut sampai pada tahun 767 kemudian bacaannya di
tambah atas perintah al Muhtasib Shalahuddin al Barlasi menjadi: "Ash-Shalatu wa
as-Salamu 'alayka ya Rasulullah" kemudian bacaan shalawat ini dikumandangkan
pada setiap setelah adzan pada tahun 771 H."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar