1. AAH (ءاه) BUKAN NAMA ALLAH
Termasuk perkara yang
wajib dijauhi adalah perkataan al-Baijuri dalam Syarh Jauharat at-Tauhid
sebagai berikut: “Orang yang sedang sakit sebaiknya mengucapkan”
ءاه” (aah), karena “aah” termasuk nama Allah”. Ini adalah kesalahan
yang fatal dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan apa yang
disampaikan oleh Rasulullah mengenai perkataan “aah .. aah..” ketika
seseorang sedang menguap, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Ibn
al-Mundzir dalam kitabnya al-Ausath bahwasanya Rasulullah bersabda:
إن الله يحب العطاس ويكره التثاؤب، فإذا تثاءب أحدكم فلا يقل: "ءاه ءاه"
فإن الشيطان يضحك منه (أو قال: يلعب منه)
والحديث عند الترمذي بلفظ: فإنما ذلك من الشيطان يضحك
منه
Maknanya: “
Baik dalam hadits
shahih ataupun dla’if bahkan maudlu’ sekalipun tidak pernah
ada keterangan bahwa “aah.. ahh..” adalah termasuk nama Allah. Yang ada
hanyalah apa yang diriwayatkan oleh ar-Rafi’i dengan sanad yang rusak dalam
kitabnya Tarikh Qazwain bahwasanya ‘Aisyah berkata: “Suatu ketika
Rasulullah mendatangiku, sementara di rumahku
ada seseorang yang sedang sakit dan merintih, kemudian beliau berkata:
“Biarkanlah dia merintih, karena suara rintihan itu termasuk nama-nama Allah”.
Suara rintihan itu bermacam-macam bentuknya, kalau dihitung sekitar ada 20
macam bentuk suara rintihan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh
al-Lughawi Murtadla az-Zabidi dalam Syarh al-Qamus, diantaranya
adalah sebagai berikut:
أوه، ءاووه، ءاوياه، أوتاه، أوّاه، ءاه، أه،
ءاهِ
Setelah memberikan beberapa contoh tersebut beliau berkata: “Ada 22
macam bentuk suara yang semuanya itu timbul akibat reaksi dari kesakitan,
rintihan dan perasaan sedih”.
Tidak ada seorangpun
dari para ulama bahasa yang mengatakan bahwa suara-suara rintihan tersebut
termasuk nama-nama Allah. Bagaimana bisa sebagian orang yang memiliki kebiasaan
menyeleggarakan majlis dzikr dimana pada waktu berdzikir dalam berdiri
dan duduk sambil berpegangan tangan dan bergoyang-goyang mereka menyebutkan
kata-kata “aah”, mereka hanya menyebutkan kata “aah” bukan
kata-kata rintihan yang lain. Sementara yang tersebut dalam hadits maudlu’
ini adalah kata-kata rintihan, bukan kata “aah”, kalau seandainya
mereka berdalih dengan hadits yang maudlu’ ini untuk membenarkan
perbuatan mereka, maka sah saja kalau dikatakan bahwa kata-kata rintihan selain
“aah” seperti “aawuh”; “awwataah” dan yang lainnya termasuk
nama-nama Allah, tapi mereka tidak mengakui itu, mereka hanya mengatakan bahwa
yang termasuk nama Allah adalah “aah” saja.
Adanya kesepakatan
dari ulama-ulama mazhab empat bahwasanya suara rintihan itu bisa membatalkan
shalat, bisa dijadikan dalil bahwasanya suara-suara rintihan tersebut bukan
termasuk nama Allah.
al-‘Azizi dalam
kitabnya as-Siraj al-Munir Syarh al-Jami’ as-Shaghir ketika menjelaskan
tentang hadits “دعوه يئن فإن الأنين اسم من أسماء الله “ yang
diriwayatkan oleh Imam as-Suyuthi mengatakan: “Guruku berkata: ‘Ini adalah
hadits hasan lighoirhi’”. Perkataannya ini tidak boleh dibuat pegangan,
karena baik al-’Azizi ataupun gurunya (Muhammad Hijazi as-Sya’rani) tidak
termasuk ulama-ulama hadits. Sementara kitab al-Jami’ ash-Shaghir sendiri
bukan termasuk kitab-kitab yang khusus menyebutkan hadits-hadits shahih
dan hasan saja, didalamnya terdapat banyak hadits shahih dan
hasan, tapi banyak juga yang dla’if dan ada sedikit yang
maudlu’.
al-Hafizh Ahmad
ibn as-Shiddiq al-Ghammary dalam kitabnya al-Mughayyir ‘ala al-Jami’
ash-Shagir mengatakan bahwa hadits rintihan tersebut adalah dadits
maudlu’ , dan beliau juga menulis sebuah risalah khusus
menerangkan tentang hadits tersebut.
Kalau kemudian orang-orang Syadziliyyah menggunakan kata-kata “aah”
dalam dzikr mereka, maka ini hanyalah suatu hal yang baru yang mereka
ada-adakan sendiri, bukan diperoleh dari guru mereka as-Syeikh Abu al-Hasan
asy-Syadzili radliyallahu ‘anhu, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang
guru besar dalam thariqat asy-Syadziliyyah di Madinah yaitu as-Syeikh Muhammad
Zhafir al-Madani dalam salah satu risalahnya.
Sebagian orang-orang
yang mengaku-ngaku sufi mengira bahwasanya makna “awwah” adalah Nabi
Ibrahim yang dulu sering berdzikir dengan kata-kata “aah”, ini jelas
tidak benar, karena makna “awwah” yang sebenarnya adalah “orang yang
mengungkapkan rasa takutnya kepada Allah ta’ala, sebagaimana dijelaskan
olah ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya al-Mufradat. Ada sebuah
riwayat dari Ibnu Mas’ud berkata:
الأوّاه : الرحيم
Maknanya: “al-Awwah artinya yang pengasih” (diriwayatkan oleh
Ibnu Hatim dengan sanad yang hasan).
2. BACAAN TAKBIR YANG BENAR
Hal yang sangat
penting untuk diperhatikan dalam membaca takbir adalah bahwa ketika membaca
lafazh Allah (الله ) tidak
boleh membacanya pendek dengan membuang bacaan panjang (alif al madd) di atas Laam . al Khalil ibn Ahmad mengatakan : "Tidak boleh dibuang alif dari nama
(الله ) " (lihat
Lisan al 'Arab, Juz 13, h. 467)
Demikian juga tidak
boleh membuang ha' di akhir bacaan takbir tersebut sehingga menjadi اللا (Alla-).
Juga tidak boleh
memanjangkan أكبر sehingga menjadi
أكبار karena أكبار adalah bentuk plural (Jama') dari kata tunggal (mufrad) -
كبـرKabar- yang berarti gendang besar sehingga seseorang yang membaca demikian
berarti telah jatuh pada Tasybih; menyerupakan Allah dengan gendang besar dan ini jelas kekufuran yang
tegas.
Ketentuan-ketentuan
dalam membaca lafazh (الله ) dan takbir ini berlaku saat membaca takbir dalam
kesempatan apa-pun, baik ketika adzan, pada saat sholat ketika takbiratul ihram maupun takbiraat al intiqal (takbir perpindahan dari satu rukun ke rukun yang lain), pada dzikir
setelah sholat dan dalam kesempatan-kesempatan lain.
3. BACAAN SHALAWAT YANG BENAR
Sebagian orang ketika
membaca shalawat memanjangkan bacaan
shalli (صلي ) padahal ketika fi'il amr (kata kerja perintah)
dipanjangkan berarti menambahkan ya'
pada bacaan shalli dan ini adalah khithab (pembicaraan) terhadap mu-annats. Padahal salah satu prinsip dalam aqidah Islam bahwa Allah ta'ala tidak
disifati dengan sifat-sifat makhluk seperti jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan karenanya orang yang mengarahkan khithab kepada Allah dengan ta'nits berarti menyifati Allah dengan salah satu sifat makhluk dan itu
disepakati oleh para ulama salaf sebagai kekufuran seperti ditegaskan oleh al
Imam Abu Ja'far ath-Thahawi dalam 'Aqidah-nya :
" ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد
كفر"
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia
telah kafir".
Secara khusus salah
seorang ahli fiqh Hadlramawt , yaitu al Faqih Thaha ibn Umar dalam kitabnya
al Majmu' Li Muhimmaat al Masa-il min al Furu', h. 97 mengatakan: "Mas-alah : Abdullah ibn Umar berkata : Orang yang dalam tasyahhudnya
mengatakan اللهم صلي dengan tambahan ya' maka itu tidak mencukupinya,
meskipun dia bodoh atau lupa, bahkan jika ia menyengaja dan ia mengetahui bahasa
Arab maka ia dihukumi kafir karenanya sebab itu adalah khithab terhadap
muannats".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar