PUTRA ANDALO

PUTRA ANDALO

Jumat, 19 Juli 2013

Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 dan 8 Terbaru 2013 Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 & 8 Terbaru 2013

Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 & 8 Terbaru 2013
Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 dan 8 Terbaru 2013 - Hy mas bro apa kabar nih ? lama yah tidak berjumpa dengan agus mariyadi putra andalo hahahaha... maklumlah Ane kan anak kuliahan yang tugasnya belajar, belajar, dan BELAJAR.... hehehe... OK langsung saja bro  saya akan membagikan   Software yang sangat di butuhkan atau yang paling penting bagi seorang Teknisi komputer (tukan install). Nama software ini Easy Driver Pack 5.2.9.1 kegunaannya untuk menginstall Driver Laptop dengan hanya beberapa klik saja. Yang berminat monggo Sedot...

Screenshots :
Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 & 8 Terbaru 2013
Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 & 8 Terbaru 2013
Easy Driver Pack 5.2.9.1 For Windows XP, 7 & 8 Terbaru 2013
 Download Here :
Password :  | Status : Tested (Windows 8 Pro 3

Sabtu, 13 Juli 2013

MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT


JARI BERPUTAR PADA TASYAHHUD ?


            Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits:

Hadits Pertama: Hadits Abdullah ibn az-Zubayr, beliau menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam pada saat tasyahhud menunjuk (Isyarah) dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakkannya. Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim, Abu Dawud dan al Bayhaqi dengan sanad yang sahih.

Hadits Ke dua: Hadits sahabat Wa-il bin Hujr yang menceritakan sholat Rasulullah, ketika menggambarkan keadaan tangan Rasulullah pada saat duduk tasyahhud dia mengatakan : kemudian Rasulullah mengangkat jari telunjuk, dan aku melihatnya ia menggerakkan jari tersebut berdoa dengannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al Bayhaqi dengan sanad yang sahih.

Perhatian :
Berdoa dalam hadits ini yang dimaksud adalah bertasyahhud, disebut demikian karena tasyahhud memang mengandung doa, demikian dijelaskan dalam 'Awn al Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud.

Permasalahan :
           
Pertama: Apakah Rasulullah ketika tasyahhud mengangkat jari telunjuk saja tanpa menggerakkannya atau mengangkat dan menggerakkannya ?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :

- Dalam madzhab Syafi'i menurut wajh yang sahih seperti ditegaskan oleh kebanyakan Ashhab asy-Syafi'i bahwa seseorang mengangkat telunjuknya tanpa menggerakkannya. Seandainya seseorang menggerakkannya hukumnya adalah makruh dan tidak membatalkan sholat karena itu adalah gerakan yang sedikit ('amal qalil). Maksud Tahrik dalam hadits Wa-il bin Hujr (hadits ke dua) adalah al Isyarah (menunjuk) dan ar-Raf' (mengangkat) bukan mengulang menggerakkan telunjuk. Al Bayhaqi mengatakan: Sehingga dengan demikian hadits Wa-il bin Hujr (hadits ke dua) sesuai dan selaras dengan riwayat Ibn az-Zubayr (hadits yang pertama).

-  Pendapat al Imam Abu Hanifah sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas  bahwa ketika seorang mengangkat telunjuk untuk memberi isyarah  ia tidak menggerakkannya.

-  Madzhab Maliki (Imam Malik bin Anas dan para pengikutnya) berpendapat bahwa sesuai hadits Wa-il bin Hujr maka seseorang ketika mengangkat telunjuknya hendaklah menggerakkannya dengan pelan. Sedangkan Hadits Ibn az-Zubayr (hadits pertama) bahwa Rasulullah tidak menggerakkan telunjuknya berarti beliau meninggalkan tahrik  untuk menjelaskan bahwa itu bukan hal yang wajib. 


Ke Dua: Berapa lama jari telunjuk tersebut diangkat ?
Jari telunjuk tetap diangkat hingga selesai tasyahhud.

Ke Tiga:  Al Bayhaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al Kubra :
" أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان قاعدا في الصلاة واضعا ذراعه اليمنى على فخذه اليمنى ، رافعا إصبعه السبابة قد أحناها شيئا وهو يدعو "
Maknanya : "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ketika duduk pada saat sholat, beliau meletakkan tangan kanan di atas paha kanan dan mengangkat jari telunjuknya sambil sedikit menekuknya ke bawah ketika berdoa (bertasyahhud)".

Dengan dalil hadits ini para ulama mengatakan bahwa disunnahkan ketika tasyahhud untuk mengangkat jari telunjuk dengan sedikit menekuknya ke bawah.

Ke Empat:  Memberi Isyarah  yang dimaksud adalah mengangkat jari telunjuk yang satu untuk mengisyaratkan keesaan Allah subhanahu wata'ala.

            Dengan demikian diketahui bahwa tidak ada seorangpun di antara para ulama yang memahami hadits Wa-il bin Hujr yang berisi Tahrik tersebut bahwa maksudnya adalah menggerakkan dengan cepat dan sambil diputar-putar. Al Imam Malik yang memahami bahwa tahrik adalah menggerakkan dan bukan sekedar mengangkat dan memberi isyarah, beliau mengatakan menggerakkannya dengan pelan ke atas dan ke bawah.


POSISI TANGAN PADA SAAT BERDIRI KETIKA SHOLAT

          Dalam masalah ini terdapat tiga riwayat :

Pertama:  Riwayat bahwa Rasulullah meletakkan kedua tangannya setelah takbiratul ihram di bawah dada dan di atas pusar. Riwayat ini diikuti oleh madzhab Syafi'i.                      

Ke Dua: Riwayat bahwa Rasulullah meletakkan kedua tangannya setelah takbiratul ihram di atas dada (pada tulang-tulang rusuk di dada) dan di atas pusar.

Ke Tiga:  Riwayat bahwa Rasulullah meletakkan kedua tangannya setelah takbiratul ihram di bawah pusar. Riwayat ini diikuti oleh madzhab Hanafi.

          Sedangkan meletakkan kedua tangan di lambung samping tidak ada dasarnya sama sekali.

I S B A L


Salah satu maksiat badan adalah memanjangkan pakaian (sarung ataupun yang lainnya) yakni menurunkannya hingga ke bawah mata kaki dengan tujuan berbangga dan menyombongkan diri (al Fakhr). Hukum dari perbuatan ini adalah dosa besar kalau memang tujuannya adalah untuk menyombongkan diri, jika tidak dengan tujuan tersebut maka hukumnya adalah makruh. Jadi cara yang dianjurkan oleh syara' adalah memendekkan sarung atau semacamnya sampai di bagian tengah betis. 

            Hukum yang telah dijelaskan ini adalah hasil dari pemaduan (Taufiq) dan penyatuan (Jam') dari beberapa hadits tentang masalah ini. Pemaduan ini diambil dari hadits riwayat al Bukhari dan Muslim bahwa ketika Nabi r mengatakan :
 "من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة " رواه البخاري ومسلم
Maknanya : "Barang siapa menarik bajunya (ke bawah mata kaki) karena sombong,  Allah tidak akan merahmatinya kelak di hari kiamat"  (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Abu Bakr yang mendengar ini lalu bertanya kepada Nabi : "Wahai Rasulullah, sarungku selalu turun kecuali kalau aku mengangkatnya dari waktu ke waktu ?" lalu Rasulullah SAW  bersabda :
"إنك لست ممن يفعله خيلاء " رواه البخاري ومسلم
Maknanya : "Sesungguhnya engkau bukan orang yang melakukan itu karena sombong"  (H.R. al Bukhari dan Muslim)

            Jadi oleh karena Abu Bakr melakukan hal itu bukan karena sombong maka Nabi tidak mengingkarinya dan tidak menganggap perbuatannya sebagai perbuatan munkar; yang diharamkan.

MENCIUM TANGAN ORANG SALEH DAN BERDIRI UNTUK MENGHORMATI KEDATANGAN SEORANG MUSLIM


Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara yang mustahabb (sunnah) yang disukai Allah, berdasarkan hadits-hadits Nabi dan dan  atsar para sahabat.

            Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya: bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat "Mari kita pergi menghadap Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa. Maksud dua orang ini adalah ingin mencari kelemahan Nabi karena dia ummi (karenanya mereka menganggapnya tidak mengetahui sembilan ayat tersebut) , maka tatkala Nabi menjelasan kepada keduanya (tentang sembilan ayat tersebut) keduanya terkejut dan langsung mencium kedua tangan Nabi dan kakinya. Imam at–Tarmidzi berkomentar tentang hadits ini: " hasan sahih ".

            Abu asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ka'ab bin Malik -semoga Allah meridlainya- dia berkata: "Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Nabi lalu mencium kedua tangan dan lututnya" .

            Imam al Bukhari  meriwayatkan dalam kitabnya al Adab al Mufrad bahwa Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- telah mencium tangan Abbas dan kedua kakinya, padahal Ali lebih tinggi derajatnya daripada 'Abbas namun karena 'Abbas adalah pamannya dan orang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya.

            Demikian juga dengan 'Abdullah ibnu 'Abbas -semoga Allah meridlainya-  yang termasuk kalangan sahabat yang kecil ketika Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mwninggal. Dia pergi kepada sebagian sahabat untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid bin Tsabit yang merupakan sahabat yang paling banyak menulis wahyu, ketika itu Zaid sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu 'Abdullah bin Abbas memegang tempat Zaid meletakan kaki di atas hewan tunggangannya. Lalu Zaid bin Tsabit-pun mencium tangan 'Abdullah bin 'Abbas karena dia termasuk keluarga Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  sambil  mengatakan: "Demikianlah kami memperlakukan keluarga Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam". Padahal Zaid bin Tsabit lebih tua dari 'Abdullah bin 'Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri pada Juz Taqbil al Yad.

            Ibnu Sa'ad juga meriwayatkan dengan sanadnya dalam kitab Thabaqaat dari 'Abdurrahman bin Zaid al 'Iraqi, ia berkata: "Kami telah mendatangi Salamah bin al Akwa'                     di ar-Rabdzah lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta lalu dia berkata : "Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam, lalu kami meraih tangannya dan menciumnya ".

            Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Imam Muslim mencium tangan Imam al Bukhari dan berkata kepadanya:
          ولو أذنت لي لقبلت رجلك
"Seandainya anda mengizinkan  pasti aku cium kaki anda".

            Dalam kitab at-Talkhish al Habir karangan al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani disebutkan: " Dalam masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar  bin al Muqri, kami mengumpulkannya dalam satu juz, di antaranya hadits Ibnu Umar dalam suatu kisah beliau berkata:
فدنونا من التبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده ورجله  (رواه أبو داود)
"Maka kami mendekat kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam  lalu kami cium tangan  dan kakinya".
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.

            Di antaranya  juga hadits Shafwan bin 'Assal, dia berkata: "Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya:    Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Lanjutan hadits ini:
          فقبلا يده ورجله وقالا: نشـهد أنك نبي
"Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi".

 Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab  Sunan  (yang empat)  dengan sanad yang kuat.

            Juga hadits az-Zari' bahwa ia termasuk rombongan utusan Abdul Qays, ia berkata:
          فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد النبي صلى الله عليه وسلم
"Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam ".
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.

            Dalam hadits tentang peristiwa al Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa 'Aisyah berzina)  dari 'Aisyah, ia berkata : Abu Bakar berkata kepadaku :
          قومي فقبلي رأسه
"Berdirilah dan cium kepalanya (Nabi)".

            Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)  dari 'Aisyah ia berkata:
ما رأيت أحدا كان أشبه سمتا وهديا ودلا برسول الله من فاطمة، وكان إذا دخلت عليه قام إليها فأخذ بيدها فقبلها وأجلسها في مجلسه ، وكانت إذا دخل عليها قامت إليه فأخذت بيده فقبلته، وأجلسته في مجلسها 
"Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya.  Ketika Fathimah datang kepada Nabi, Nabi berdiri menyambutnya lalu mengambil tangannya kemudian menciumnya dan membawanya duduk di tempat duduk beliau, dan apabila Nabi datang kepada Fathimah, Fathimah berdiri menyambut beliau lalu mengambil tangan beliau kemudian menciumnya, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya".
Demikian penjelasan al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab at-Talkhish al Habir .

            Dalam hadits yang terakhir disebutkan juga terdapat dalil kebolehan berdiri untuk menyembut orang yang masuk datang ke suatu tempat  jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk bersombong diri dan menampakkan keangkuhan.

            Sedangkan hadits riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari Anas bahwa para sahabat jika mereka melihat Nabi mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Nabi tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Karena Rasulullah tidak menyukai hal itu sebab takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Jadi beliau tidak menyukainya karena menginginkan keringanan bagi ummatnya dan sudah maklum bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

            Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  bersabda :
          " من أحب أن يتمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار"
Berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majlis lalu raja mereka masuk mereka berdiri untuk raja mereka dengan Tamatstsul ; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majlis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.

            Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Nabi  shallallahu 'alayhi wasallam menarik tangannya dari tangan orang yang ingin menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits.

            Sungguh aneh orang yang menyebutkan hadits tersebut dengan tujuan menjelekkan mencium tangan, bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits sahih yang membolehkan mencium tangan dan berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya !?.

BERMAIN REBANA


Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari 'Aisyah bahwasanya ia mengantar pengantin perempuan kepada seorang lelaki dari kabilah Anshar, kemudian Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  bersabda:  "Wahai 'Aisyah, tidakkah kalian memiliki  hiburan untuk pengantin?  Sesungguhnya kaum Anshar menyukai   hiburan !" .

            Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani dalam Syarah-nya (terhadap Sahih al Bukhari) mengatakan: "Dalam riwayat Syarik, Rasulullah bersabda: "Tidakkah kalian mengutus bersamanya (pengantin wanita) seorang gadis yang memukul rebana  dan bernyanyi? Aku ('Aisyah) berkata: Apa yang dinyanyikan gadis itu?, Rasulullah menjawab: ia menyanyikan:


أتيـناكم  أتيناكـم  فحيونا نحيـيكم
ولو لا الذهب الأحمر      ما حلت بواديكم
   ولو لا الحنطة السمرا    ء ما سمنت عذاريكم

(Kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian, maka sambutlah kami, kamipun akan menyambut kalian. Kalaulah tidak karena Dzahab Ahmar (emas merah) maka tidak akan sampai (pengantin) ke kampung kalian. Dan kalaulah bukan karena Hinthah as-Samra (gandum cokelat) maka tidak akan gemuk perawan-perawan kalian).

            Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya meriwayatkan bahwa ada seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam lalu ia berkata: Wahai Rasulullah ,sesungguhnyan aku bernadzar untuk memukul rebana di hadapanmu, Rasulullah bersabda: penuhilah nadzarmu !, wanita itu berkata lagi: Sesungguhnya aku juga bernadzar untuk menyembelih binatang di tempat ini dan ini -tempat yang biasa dipakai oleh orang Jahiliyyah  untuk menyembelih binatang -, Rasulullah bertanya: apakah sembelihan itu untuk berhala? Ia menjawab: tidak, Rasulullah bertanya lagi: untuk patung? Ia menjawab : tidak, Rasulullah bersabda: laksanakan nadzarmu."

            At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban meriwayatkan: "Bahwasanya Nabi shallallahu 'alayhi wasallam ketika pulang  ke Madinah dari sebuah peperangan, didatangi oleh seorang gadis berkulit hitam, kemudian gadis itu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar apabila Allah mengembalikan engkau dari medan perang dengan selamat aku akan memukul rebana di depanmu, maka Rasulullah bersabda kepadanya: "Kalau engkau memang bernadzar seperti itu ,laksanakanlah nadzarmu".

            Sedangkan orang yang mengatakan bahwa kebolehan memukul rebana hanya berlaku bagi wanita, maka pendapat ini tertolak, karena kebolehan memukul rebana berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan. Pengkhususan (kebolehan tersebut) bagi wanita tidak ada dalilnya secara 'urf (kebiasaan) maupun syara', karena penduduk Yaman sudah masyhur di kalangan mereka bahwa kaum lelaki bermain rebana, begitu juga kaum sufi di daratan syam dan ahli dzikir begitulah kebiasaan mereka.

            Al Hafizh al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki ketika membantah pendapat tersebut mengatakan: " Jawaban :  (segala puji bagi Allah) al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya dari hadits Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari 'Aisyah –semoga Allah meridlainya- dalam haditsnya yang panjang, ia berkata: "(suatu ketika) Abu Bakar masuk ke rumahku, ketika itu di sampingku ada dua gadis Anshar sedang bernyanyi dengan nyanyian yang biasa dinyanyikan kaum Anshar pada perang Bu'ats, 'Aisyah berkata: mereka berdua bukanlah penyanyi, kemudian Abu Bakar berkata: Apakah dibiarkan suara setan berdendang di rumah Rasulullah.?. Kejadian ini terjadi pada hari raya, kemudian Rasulullah bersabda:

 " يا أبا بكر ، إن لكل قوم عيدا ، وهذا عيدنا "
Maknanya: "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita".

Dan dalam hadits Abu Mu'awiyah dari Hisyam  dengan isnad ini ada keterangan:
          جاريتان يلعبان بالدف
"(ada) dua gadis yang bermain rebana".
            An-Nasa-i juga meriwayatkan dari az-Zuhri dari 'Urwah: " Dan ada dua gadis yang memukul rebana dan bernyanyi sedangkan Rasulullah sedang berselimut dengan pakaiannya kemudian beliau membuka wajahnya lalu berkata:
          دعهما يا أبا بكر إنها أيام عيد
"Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari-hari ini adalah hari raya".

Hari-hari tersebut adalah hari-hari mabit di Mina, sedangkan Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  pada hari itu berada di Madinah, dua orang gadis tersebut memukul rebana di hadapan Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam  dan beliau mendengarkan".

            Perkataan Nabi:  دعهما يا أبا بكرadalah salah satu dalil terkuat atas dihalalkannya bermain rebana, oleh karena itu kita menyetujui ulama' yang menghalalkannya secara mutlak dalam acara walimatul 'urs, khitan dan lainnya. Dan mayoritas para 'ulama tidak membedakan (dalam kehalalan tersebut) antara laki-laki dan perempuan. Pendapat al Halimi yang membedakan antara keduanya adalah lemah karena dalil-dalil yang ada tidak menunjukkan pembedaan itu.

            Mengenai kehalalan wanita bermain rebana sudah nyata, begitu juga kebolehan mendengarkannya bagi laki-laki sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang sahih ini.

            Sedangkan mengenai hukum laki-laki bermain rebana, maka hukum asal segala sesuatu adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hukum, kecuali jika ada dalil syar'i yang membedakan, sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalil yang membedakan, juga dalam kenyataan bermain rebana bukanlah hal yang hanya dilakukan oleh perempuan sehingga  bisa dikatakan haram bagi laki-laki menyerupai wanita dalam hal ini, berarti hadits mengenai hal ini tetap dalam keumumannya (berlaku bagi laki-laki dan perempuan).

Juga telah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
" أعلنوا النكاح واضربوا عليه بالدف "
"Umumkanlah suatu pernikahan dan pukullah rebana dalam rangka hal itu."

Andaikata hadits ini sahih pasti bisa dipakai sebagai hujjah (untuk kebolehan laki-laki bermain rebana), karena kata  اضربوا khitabnya (yang diajak bicara) adalah laki-laki., tapi hadits tersebut adalah hadits yang dla'if (lemah).

            Dalam madzhab Ahmad  memang dibedakan (antara laki-laki dan peempuan) dalam hal istihbab (kesunnahan) bukan dalam hal jawaz (kebolehan) menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab mereka", demikian penjelasan as-Subki.

Catatan :
            Perlu diketahui bahwa kata الجارية   dalam bahasa arab maknanya adalah seorang gadis baik yang merdeka atau budak (hamba sahaya), dan dugaan sebagian orang bahwa kata itu maknanya khusus bagi hamba sahaya atau anak perempuan yang masih kecil adalah persangkaan yang salah dan ketidak tahuan terhadap bahasa Arab.

            Al Ghazali dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin mengatakan:
"Sifat (yang menyebabkan alat musik diharamkan)  kedua adalah  alat yang menjadi identitas para pemabuk dan para waria yaitu seruling, gitar dan semacamnya dan gendang yang bentuk  ke dua ujungnya besar sementara tengahnya kecil ,inilah tiga alat musik yang dilarang, sedangkan selain itu tetap  pada hukum asal kebolehannya seperti rebana meskipun ada kecreknya, juga seperti gendang dan syahin". Al Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam syarhnya terhadap Kitab Ihya' menyetujui perkataan al Ghazali ini.

            Dalam kitab Kaffu ar-Ra'a' 'an Muharramat al-Lahwi wa as-Sama' karangan Ibnu Hajar al Haytami disebutkan: "Asy-Syaikhan (dua Syekh) –yakni ar-Rafi'i dan an-Nawawi– mengatakan : ketika kita membolehkan bermain rebana, itu kalau memang tidak ada kecreknya, sedangkan jika ada kecreknya maka menurut pendapat yang lebih sahih hukumnya tetap halal".

          Dalam al Fatawa al Kubra (4/356) karangan Ibnu Hajar al Haitami juga disebutkan: "Orang-orang Habasyah telah menari di masjid sedangkan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam  melihat mereka dan menyetujui perbuatan mereka. Dalam Jami' at-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah dari 'Aisyah rodliyallahu 'anha bahwasanya Nabi shallallahu 'alayhi wasallam  bersabda:

          " أعلنوا هذا النكاح وافعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدف "
"Umumkanlah oleh kalian pernikahan ini laksanakanlah ia di masjid-masjid dan pukullah rebana dalam rangka hal itu."

Hadits ini mengisyaratkan bolehnya memukul rebana di masjid-masjid karena acara pernikahan, jika ini diterima (dibenarkan) berarti bisa disamakan acara-acara yang lain dengannya". 

            Ibnu Hajar juga mengatakan dalam kitab Fath al Jawad bi Syarh al Irsyad (2/406): "Diperbolehkan rebana meskipun ada semacam kecreknya, bagi laki-laki dan perempuan meskipun tidak ada sebab apapun".

SHALAT DI KUBURAN DAN SHALAT DI MASJID YANG ADA KUBURANNYA

Sholat di Kuburan

            Jika seseorang berada di areal pekuburan lalu melakukan sholat dan menghadap Ka'bah. Maka ketika menghadap kiblat, di depannya di arah kiblat akan ada kuburan. Hukum sholat semacam ini adalah makruh saja dan tidak haram. Suatu ketika sayyidina Umar melihat orang yang sholat dan di depannya ada kuburan lalu beliau mengatakan: "Awas kuburan, Awas kuburan", maksudnya jauhilah menyengaja menghadap kuburan. Beliau tidak mengatakan engkau telah melakukan hal yang haram. Kemudian kemakruhan ini akan hilang jika kuburannya tertutup. Al Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

" قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما صنعوا "
Maknanya : "Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat dan tujuan bersujud dan beribadah, hendaklah dijauhi apa yang mereka lakukan itu" (H.R. al Bukhari)

Kemudian 'Aisyah mengatakan :
" ولو لا ذلك لأبرز قبـره "
"Seandainya bukan karena itu pasti akan dinampakkan kuburan Nabi".

Jadi 'Aisyah –perawi hadits ini- memahami bahwa larangan sholat ke arah kuburan adalah ketika kuburan tersebut nampak jelas, dan bukan secara mutlak.

            Sholat di kuburan menjadi haram jika menyengaja menjadikan kuburan sebagai kiblatnya, dan bahkan menjadi kufur jika bertujuan beribadah kepada kuburan.


Sholat di Masjid yang ada Kuburannya

            Sedangkan sholat di masjid yang di dalamnya terdapat pekuburan hukumnya adalah boleh.
 Mengenai hadits al Bukhari :
" لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد "
Maknanya : "Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat dan tujuan bersujud dan beribadah, hendaklah dijauhi apa yang mereka lakukan itu".               
Dalam hadits itu juga ada perkataan 'Aisyah:
          " ولو لا ذلك لأبرزوا قبـره "
"Dan andaikata bukan karena itu pasti mereka menampakkan kuburanya(kuburan Rasulullah)"

            Hadits tersebut dimaksudkan untuk orang yang sholat dan menghadap ke kuburan dengan tujuan mengagungkan kuburan tersebut. Ini mungkin terjadi jika memang kuburan tersebut nampak dan tidak tertutup. Jadi jika kondisinya tidak demikian maka tidaklah haram hukumnya sholat di sana. Tidak haram orang sholat ke kiblat dan di depannya ada kuburan jika ia tidak bertujuan menghadap ke kuburan untuk mengagungkannya. Tidak haram juga jika kuburan tersebut tertutup dan tidak nampak, karena jika tidak nampak tidak mungkin seseorang bertujuan menghadap ke kuburan tersebut.

            Jadi hanya karena adanya kuburan di sebuah masjid tanpa dimaksudkan oleh orang yang sholat untuk menghadap kepadanya itu tidak dilarang oleh hadits tersebut. Karenanya ulama madzhab Hanbali menegaskan bahwa sholat di pekuburan hukumnya adalah makruh dan tidak diharamkan.

            Di antara dalil yang menunjukkan tidak diharamkannya sholat di masjid yang ada kuburannya apabila tidak nampak adalah sebuah hadits yang sahih bahwa masjid al Khayf di dalamnya terdapat kuburan 70 Nabi, bahkan menurut suatu pendapat kuburan Nabi Adam ada di sana, di dekat masjid. Masjid al Khayf  ini telah digunakan pada zaman Nabi hingga sekarang. Hadits ini disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya al Mathalib al 'Aliyah, dan al Hafizh al Bushiri mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan al Bazzar dengan isnad yang sahih.

            Sedangkan hadits لا تصلوا إلى القبور   tidak menunjukkan atas haramnya sholat di masjid yang ada kuburannya. Akan tetapi maksudnya tergantung pada keadaan kuburan dan orang yang sholat di sana seperti perincian hukum di atas.

            Karenanya al Buhuti  al Hanbali telah menegaskan dalam kitab Syarh Muntaha al Iradat bahwasanya sholat seseorang yang menghadap ke kuburan tetapi disertai ada penghalang antara  orang yang sholat dan kuburan tersebut hukumnya  tidak lagi makruh.

            Adapun hadits yang berbunyi:
          " لعن الله زوارات القبور والمتخذين عليها المساجد والسرج "
Maksudnya adalah bahwa orang yang membangun masjid di atas kuburan untuk mengagungkan kuburan tersebut adalah mal'un (dilaknat), begitu juga orang yang meletakkan lampu atau lilin di atas kuburan untuk mengagungkan kuburan tersebut juga dilaknat.

MASALAH BANGUNAN KUBURAN DAN ZIARAH KUBUR


Bangunan Kuburan

           
            Diharamkan membuat kuburan dalam bentuk bangunan, jika status tanah pekuburannya adalah tanah wakaf untuk pekuburan. Kuburan cukup diberi batu di bagian kepala mayyit dan di bagian kaki mayyit, sehingga diketahui oleh orang yang datang untuk berziarah. Namun jika status tanah pekuburannya adalah milik perorangan,  tidak haram hukumnya membangun kuburan dengan seizin pemilik tanah, hukumnya hanya makruh saja. 

            Maksud dari diharamkannya membangun kuburan di tanah wakaf adalah bahwa hal itu bisa mempersempit areal pekuburan bagi kaum muslimin yang lain untuk dikuburkan di sana, karena jika ada bangunan di salah satu kuburan akan sulit bagi mereka membongkarnya untuk menguburkan mayit lain di sana. Kecuali jika ada keadaan darurat seperti jika daerah pekuburan tersebut rawan binatang buas yang biasa menggali kuburan dan memakan jasad mayit atau ada kekhawatiran kuburan akan diisi dengan mayit lain sebelum jasad mayit yang lama punah, dalam keadaan seperti ini membangun kuburan hukumnya boleh (Ja-iz).


Ziarah Kubur

            Ziarah kubur adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam agama. Larangan berziarah kubur telah dihapus oleh hadits Nabi:
" كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها "
Maknanya : "Dulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah ke kuburan".

Bahkan Rasulullah menganjurkan untuk melakukan ziarah  kubur dengan menjelaskan hikmahnya:
" زوروا القبور فإنها تذكركم بالآخرة " رواه البيهقي
Maknanya : "Berziarahlah kalian ke kuburan, sungguh hal itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat" (H.R. al Bayhaqi)

            Sedangkan hadits riwayat at-Tirmidzi bahwa Rasulullah melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur, maksudnya adalah mereka yang berziarah dengan disertai dengan an-Niyahah (menjerit dengan meratap karena musibah kematian) dan an-Nadb (menyebut-nyebut kebaikan mayyit dengan suara yang keras dengan mengatakan: oh pelindungku! dan semacamnya) dan semacamnya. Sedangkan ziarah kubur bagi perempuan tanpa ada unsur-unsur tersebut hukumnya adalah boleh menurut sebagian ulama dan makruh menurut sebagian yang lain.

            Ziarah kubur pada malam hari hukumnya adalah sunnah karena telah diriwayatkan dengan sahih bahwa Rasulullah pergi berziarah ke al Baqi' di malam hari dan beristighfar untuk ahli kubur (H.R. Muslim). Hal yang dimakruhkan adalah bermalam di kuburan. Bermalam artinya berada di kuburan hingga fajar tiba atau menghabiskan kebanyakan malam di kuburan. Sedangkan berada di kuburan di malam hari untuk satu atau dua jam untuk i'tibar (mengambil pelajaran) hukumnya adalah sunnah.


Ziarah Kubur pada Hari Raya

            Sebagian orang menganggap tradisi masyarakat yang melakukan ziarah kubur pada hari raya sebagai bid'ah muharramah (bid'ah yang diharamkan). Padahal tidak ada satu hadits-pun yang melarang hal tersebut. Hadits yang menganjurkan untuk berziarah kubur adalah hadits yang umum tanpa ada batasan waktu yang diperbolehkan atau dilarang. Jadi kapan-pun orang berziarah ke kuburan hukumnya adalah boleh, termasuk pada hari raya. Bahkan Sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib mengatakan :

" من السنة زيارة جبانة المسلمين يوم العيد وليلته "
"Di antara sunnah Nabi adalah berziarah ke kuburan kaum muslimin di siang hari raya dan malamnya".


Hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang saat Ziarah Kubur

            Dimakruhkan dengan sangat duduk di atas kuburan, menginjak kuburan dengan kaki tanpa ada kebutuhan, jika ada kebutuhan tidak dimakruhkan menginjak kuburan. Ini kalau memang tidak terdapat tulisan yang diagungkan di  atas kuburan.

            Diharamkan thawaf (mengelilingi) kuburan para wali seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di kuburan al Husein di Mesir. Melainkan yang seyogyanya dilakukan adalah berdiri di hadapan bagian kepala mayit, mengucapkan salam kepadanya lalu berdoa kepada Allah dengan mengangkat tangan atau tanpa mengangkat tangan.

            Meletakkan tangan di dinding kuburan hukumnya boleh. Sebagian ulama madzhab Syafi'i menganggap makruh hal itu. Sedangkan al Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan kalau tujuannya adalah untuk tabarruk boleh dan tidak bermasalah; yakni jika peziarah meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat kecuali Allah dan tujuannya adalah agar Allah menjadikan ziarahnya kepada seorang wali tersebut sebagai sebab mendapatkan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat.