Dzikr (menyebut nama Allah ta'ala) yang dinyatakan dalam al-Qur'an dan hadits sebagai perbuatan yang
mulia adalah dzikr yang diajarkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan dari beliau secara
mutawatir atau shahih. Bahwasanya Rasulullah adalah orang yang paling fasih dan paling tinggi tingkat kebalagh-ahannya di antara orang-orang Arab, adalah suatu hal tak dapat
dipungkiri. Begitu juga para sahabat yang secara langsung menimba ilmu dari
Rasulullah, mereka semua termasuk orang-orang yang memiliki tingkat kefasihan dan kebalagh-ahan yang tinggi, dari sini dapat disimpulkan bahwasanya al-Qur'an dan
Sunnah sampai kepada kita secara mutawatir dan shahih dengan kondisi aslinya sebagaimana kita dapati saat ini; dimana di
dalamnya terdapat madd, qashr, tafkhim, tarqiq, idgham, fakk dan sebagainya.
Dzikr adalah lafazh yang menunjukkan tentang dzat Allah dan sifat-sifat-Nya,
baik diperoleh dari al-Qur'an maupun hadits -sebagaimana yang kita ketahui
bersama- atau dari selain keduanya, tapi tidak boleh semaunya sendiri.
Di antara dzikr-dzikr yang diambil dari al-Qur'an seperti firman Allah:
فاعلم أنه لا إله إلا
الله
Dan dari hadits seperti sabda Rasulullah:
أفضل ما قلت أنا
والنبييون من قبلي لا إله إلا الله
Juga seperti kalimat:
الله الله ربي
contoh-contoh dzikr di atas diperoleh dari Rasulullah dengan tata cara bacaan sebagaimana
diajarkan oleh para ulama dan para ahli qira'ah; yaitu
dengan memanjangkan لا dan meringankan bacaan hamzahnya; memendekkan bacaan hamzah, memanjangkan لا dan memendekkan ha'
serta menyambungnya dengan huruf
istitsna' (إلا ); menyambung huruf istitsna' dengan lafazh
الله dengan menipiskan lamnya; membuang hamzah dari lafazh الله , menebalkan lamnya dan
memanjangkan bacaan lam tersebut,
memendekkan ha' atau mensukunkannya. Kalu lafazh الله dibaca di
permulaan, maka hamzahnya dinampakkan
dan selanjutnya seperti yang telah dijelaskan. Begitu juga nama-nama yang lain,
semuanya bisa dijadikan dzikr
sebagaimana yang disampaikan oleh Rasululla, seperti الرحمن , الرحيم (dengan
dipanjangkan bacaannya) atau الحي (dengan dipendekkan bacaannya).
Inilah yang sesuai
dengan kaidah bahasa Arab yang mana Rasulullah adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkannya. Oleh karena
itu segala apa yang bertentangan dengan ini semua seperti yang terdapat dalam
pertanyaan atau yang tidak pernah didengar sebelumnya, bahkan yang sengaja
dibuat-buat oleh setan yang kemudian disampaikan kepada pengikut-pengikutnya
yang sesat, semua itu bukanlah dzikr,
tetapi hanyalah kemunkaran dan kerusakan, dan haram hukumnya untuk
diucapkan, karena terdapat pengubahan dan pelecehan terhadap nama-nama Allah,
menamakan Allah dengan nama-nama yang tidak terdapat dalam al-Qur'an atau hadits
dan tidak disepakati oleh para ulama, serta tidak menunjukkan pada pengagungan
dan penghormatan, itu semua hanyalah bertujuan untuk merendahkan dan menghina
Allah ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أصدق الحديث كتاب الله تعالى، وخير الهدي هدى محمد r ، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في
النار
Maknanya: "
Beliau juga bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Maknanya: "
Dari situ, maka wajib
hukumnya mengingkari dan melarang mereka baik dengan tindakan bagi siapa saja
yang mampu, atau dengan nasehat jika tidak mampu dengan tindakan, atau
setidaknya dengan mengingkarinya dalam hati. Tidak boleh menghadiri
majlis-majlis mereka atau mendengrkan ajaran mereka, karena sesungguhnya dengan
kemaksiatan yang mereka perbuat, mereka seharusnya mendapatkan hukuman, sementara menyetujui dan
ridlo dengan apa yang mereka perbuat
berarti sama saja dengan mereka yang mendapatkan murka dari Allah ta'ala.
al-Amir berkata dalam
risalahnya yang berjudul (Nataij al-fikr
fi adab adz-dzikr):
"Huruf
لا (huruf nafi) pada لا إله إلا الله harus dibaca panjang minimal tiga harakat (menurut
bacaan yang paling fasih), karena bertemu dengan hamzah pada lafazh
إله , boleh juga dipanjangkan sampai maksimal enam
harakat, ini juga sesuai dengan riwayat yang mutawatir, yang dikenal di kalangan
ahli qira'ah dengan "mad munfashil". Lain halnya dengan لا pada
lafazh jalalah (الله ), tidak boleh dipanjangkan melebihi dua harakat
(mad thabi'i, yaitu yang sesuai dengan keaslian hurufnya). Adapun jika lafazh
jalalah tersebut bersambung dengan lafazh lain seperti:
لا إله إلا الله محمد رسول الله
Atau ketika dibaca berulang ulang secara bersambung tanpa berhenti, maka
tidak boleh dipanjangkan lebih dari dua harakat. Kecuali kalau ha'-nya
diwaqafkan (disukun), maka boleh dipanjangkan sampai enam harakat, ini sesuai
dengan riwayat yang mutawatir. Sebagian ulama menyatakan bahwasanya lafazh
jalalah kalau diucapkan pada takbirat al-Ihram, tidak apa-apa dipanjangkan
sampai empat belas harakat dengan tujuan untuk lebih mengagungkan Allah atau
untuk menghadirkan niat shalat, ini adalah bacaan yang paling panjang yang
dijelaskan oleh para ulama ahli qira'ah, meskipun termasuk pendapat yang
syadz.
"Semua kalimat tauhid harus dibaca tipis (tarqiq), kecuali lafazh jalalah
(harus di tebalkan [tafkhim])".
"Para ulama memberikan
larangan bagi siapa saja yang membaca
لا إله إلا الله untuk berhenti pada bacaan ,لا إله karena
mengandung arti ta'thil (menafikan keberadaan Allah), dan harus disambung
secepatnya dengan lafazh selanjutnya yaitu: إلا الله (dengan huruf istitsna, yang berfaedah untuk
itsbat). Berbeda dengan apa yang kita
dengar dari sebagian orang-orang bodoh yang mengaku-ngaku sufi yang biasanya
kalimat tahlil ini dengan bermacam-macam bentuk; ada yang mengucapkan
لا dengan ditebalkan dan agak condong ke bibir,
sehingga seperti bunyi huruf "wawu", sebaliknya ada yang lebih condong ke lidah
bagian tengah dan atas sehingga seperti bunyi "ya"; ada juga diantara mereka
yang mengganti "hamzah"pada إله dengan "ya" atau mengenyangkan "hamzah" tersebut
sehingga timbul bunyi "ya" setelahnya; ada juga yang menambah panjang bacaan
"alif" pada إله lebih dari
mad thabi'i (2 harakat) atau berhenti sejenak pada bacaan "alif" tersebut; ada
juga yang mengenyangkan bacaan "hamzah" pada إلا sehingga menimbulkan bunyi "ya", atau memunculkan
bacaan "alif" (sedangkan hal ini termasuk "lahn" (kesalahan)) padahal "alif" tersebut seharusnya dibuang karena ada
dua sukun yang bertemu. Mereka dengan seenaknya sendiri memanjangkan,
memunculkan dan membuat-buat bacaan sendiri dengan berbagai macam bentuk,
diantara mereka ada yang memanjangkan bacaan "ha" pada إله sehinga
timbul bunyi "alif" setelahnya, dan sebagian yang lain memunculkan bacaan
"hamzah" pada lafazh الله dan
memanjangkannya sehingga seperti "hamzah istifham", dan lain sebagainya. Ini semua bertentangan dan menyalahi apa yang
diajarakan oleh Rasulullah. Bahkan kadang-kadang mereka mengira bahwasanya
mereka nggak sadar, lalu memakan sebagian huruf-huruf pada kalimat tersebut dan
mengubahnya, sehingga yang terdengar dari mulut mereka hanyalah bunyi-bunyi yang
polos atau bunyi-bunyi yang menyerupai teriakan kuda dan kicauan burung -naudzu
billahi min dzalik -. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada al-Ahdlory yang
telah berkata dalam sya'irnya:
وينبحون النبح كالكلاب # طريقهم ليست على الصواب
وليس فيهم من فتى مطيع # فلعنة الله على الجميع
"Orang-orang itu
sedang menggonggong seperti anjing, jalan yang mereka tempuh tidaklah
benar"
"dan di antara mereka tak ada satupun pemuda yang ta'at, semoga Allah
melaknati mereka semua"
"Memang kita mengakaui
bahwasanya segala perkataan yang keluar dari mulutnya itu bisa saja terjadi dengan tanpa ia sengaja dan tanpa ia sadari, dan
kalau memang benar seperti itu maka tidak mengapa. Namun yang kita bicarakan di
sini adalah mereka yang dengan sengaca mengucapkan suara-suara tersebut,
sementara dalam kondisi normal dan sadar mereka tetap tidak bisa terlepas dari
hukum taklif. Dikhawatirkan kalau mereka benar-benar mengubah nama-nama Allah
dan menyelewengkan dzikr-dzikr, mereka akan selalu menyebut dan membacanya,
namun yang mereka baca itu tidak bermanfaat sama sekali bagi mereka, bahkan
sebaliknya semuanya itu akan melaknat mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan yang
diberitakan oleh Rasulullah:
رب قارئ للقرآن والقرآن يلعنه
Tidak ada komentar:
Posting Komentar