PUTRA ANDALO

PUTRA ANDALO

Sabtu, 13 Juli 2013

SHALAT DI KUBURAN DAN SHALAT DI MASJID YANG ADA KUBURANNYA

Sholat di Kuburan

            Jika seseorang berada di areal pekuburan lalu melakukan sholat dan menghadap Ka'bah. Maka ketika menghadap kiblat, di depannya di arah kiblat akan ada kuburan. Hukum sholat semacam ini adalah makruh saja dan tidak haram. Suatu ketika sayyidina Umar melihat orang yang sholat dan di depannya ada kuburan lalu beliau mengatakan: "Awas kuburan, Awas kuburan", maksudnya jauhilah menyengaja menghadap kuburan. Beliau tidak mengatakan engkau telah melakukan hal yang haram. Kemudian kemakruhan ini akan hilang jika kuburannya tertutup. Al Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

" قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما صنعوا "
Maknanya : "Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat dan tujuan bersujud dan beribadah, hendaklah dijauhi apa yang mereka lakukan itu" (H.R. al Bukhari)

Kemudian 'Aisyah mengatakan :
" ولو لا ذلك لأبرز قبـره "
"Seandainya bukan karena itu pasti akan dinampakkan kuburan Nabi".

Jadi 'Aisyah –perawi hadits ini- memahami bahwa larangan sholat ke arah kuburan adalah ketika kuburan tersebut nampak jelas, dan bukan secara mutlak.

            Sholat di kuburan menjadi haram jika menyengaja menjadikan kuburan sebagai kiblatnya, dan bahkan menjadi kufur jika bertujuan beribadah kepada kuburan.


Sholat di Masjid yang ada Kuburannya

            Sedangkan sholat di masjid yang di dalamnya terdapat pekuburan hukumnya adalah boleh.
 Mengenai hadits al Bukhari :
" لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد "
Maknanya : "Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat dan tujuan bersujud dan beribadah, hendaklah dijauhi apa yang mereka lakukan itu".               
Dalam hadits itu juga ada perkataan 'Aisyah:
          " ولو لا ذلك لأبرزوا قبـره "
"Dan andaikata bukan karena itu pasti mereka menampakkan kuburanya(kuburan Rasulullah)"

            Hadits tersebut dimaksudkan untuk orang yang sholat dan menghadap ke kuburan dengan tujuan mengagungkan kuburan tersebut. Ini mungkin terjadi jika memang kuburan tersebut nampak dan tidak tertutup. Jadi jika kondisinya tidak demikian maka tidaklah haram hukumnya sholat di sana. Tidak haram orang sholat ke kiblat dan di depannya ada kuburan jika ia tidak bertujuan menghadap ke kuburan untuk mengagungkannya. Tidak haram juga jika kuburan tersebut tertutup dan tidak nampak, karena jika tidak nampak tidak mungkin seseorang bertujuan menghadap ke kuburan tersebut.

            Jadi hanya karena adanya kuburan di sebuah masjid tanpa dimaksudkan oleh orang yang sholat untuk menghadap kepadanya itu tidak dilarang oleh hadits tersebut. Karenanya ulama madzhab Hanbali menegaskan bahwa sholat di pekuburan hukumnya adalah makruh dan tidak diharamkan.

            Di antara dalil yang menunjukkan tidak diharamkannya sholat di masjid yang ada kuburannya apabila tidak nampak adalah sebuah hadits yang sahih bahwa masjid al Khayf di dalamnya terdapat kuburan 70 Nabi, bahkan menurut suatu pendapat kuburan Nabi Adam ada di sana, di dekat masjid. Masjid al Khayf  ini telah digunakan pada zaman Nabi hingga sekarang. Hadits ini disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya al Mathalib al 'Aliyah, dan al Hafizh al Bushiri mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan al Bazzar dengan isnad yang sahih.

            Sedangkan hadits لا تصلوا إلى القبور   tidak menunjukkan atas haramnya sholat di masjid yang ada kuburannya. Akan tetapi maksudnya tergantung pada keadaan kuburan dan orang yang sholat di sana seperti perincian hukum di atas.

            Karenanya al Buhuti  al Hanbali telah menegaskan dalam kitab Syarh Muntaha al Iradat bahwasanya sholat seseorang yang menghadap ke kuburan tetapi disertai ada penghalang antara  orang yang sholat dan kuburan tersebut hukumnya  tidak lagi makruh.

            Adapun hadits yang berbunyi:
          " لعن الله زوارات القبور والمتخذين عليها المساجد والسرج "
Maksudnya adalah bahwa orang yang membangun masjid di atas kuburan untuk mengagungkan kuburan tersebut adalah mal'un (dilaknat), begitu juga orang yang meletakkan lampu atau lilin di atas kuburan untuk mengagungkan kuburan tersebut juga dilaknat.

MASALAH BANGUNAN KUBURAN DAN ZIARAH KUBUR


Bangunan Kuburan

           
            Diharamkan membuat kuburan dalam bentuk bangunan, jika status tanah pekuburannya adalah tanah wakaf untuk pekuburan. Kuburan cukup diberi batu di bagian kepala mayyit dan di bagian kaki mayyit, sehingga diketahui oleh orang yang datang untuk berziarah. Namun jika status tanah pekuburannya adalah milik perorangan,  tidak haram hukumnya membangun kuburan dengan seizin pemilik tanah, hukumnya hanya makruh saja. 

            Maksud dari diharamkannya membangun kuburan di tanah wakaf adalah bahwa hal itu bisa mempersempit areal pekuburan bagi kaum muslimin yang lain untuk dikuburkan di sana, karena jika ada bangunan di salah satu kuburan akan sulit bagi mereka membongkarnya untuk menguburkan mayit lain di sana. Kecuali jika ada keadaan darurat seperti jika daerah pekuburan tersebut rawan binatang buas yang biasa menggali kuburan dan memakan jasad mayit atau ada kekhawatiran kuburan akan diisi dengan mayit lain sebelum jasad mayit yang lama punah, dalam keadaan seperti ini membangun kuburan hukumnya boleh (Ja-iz).


Ziarah Kubur

            Ziarah kubur adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam agama. Larangan berziarah kubur telah dihapus oleh hadits Nabi:
" كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها "
Maknanya : "Dulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah ke kuburan".

Bahkan Rasulullah menganjurkan untuk melakukan ziarah  kubur dengan menjelaskan hikmahnya:
" زوروا القبور فإنها تذكركم بالآخرة " رواه البيهقي
Maknanya : "Berziarahlah kalian ke kuburan, sungguh hal itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat" (H.R. al Bayhaqi)

            Sedangkan hadits riwayat at-Tirmidzi bahwa Rasulullah melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur, maksudnya adalah mereka yang berziarah dengan disertai dengan an-Niyahah (menjerit dengan meratap karena musibah kematian) dan an-Nadb (menyebut-nyebut kebaikan mayyit dengan suara yang keras dengan mengatakan: oh pelindungku! dan semacamnya) dan semacamnya. Sedangkan ziarah kubur bagi perempuan tanpa ada unsur-unsur tersebut hukumnya adalah boleh menurut sebagian ulama dan makruh menurut sebagian yang lain.

            Ziarah kubur pada malam hari hukumnya adalah sunnah karena telah diriwayatkan dengan sahih bahwa Rasulullah pergi berziarah ke al Baqi' di malam hari dan beristighfar untuk ahli kubur (H.R. Muslim). Hal yang dimakruhkan adalah bermalam di kuburan. Bermalam artinya berada di kuburan hingga fajar tiba atau menghabiskan kebanyakan malam di kuburan. Sedangkan berada di kuburan di malam hari untuk satu atau dua jam untuk i'tibar (mengambil pelajaran) hukumnya adalah sunnah.


Ziarah Kubur pada Hari Raya

            Sebagian orang menganggap tradisi masyarakat yang melakukan ziarah kubur pada hari raya sebagai bid'ah muharramah (bid'ah yang diharamkan). Padahal tidak ada satu hadits-pun yang melarang hal tersebut. Hadits yang menganjurkan untuk berziarah kubur adalah hadits yang umum tanpa ada batasan waktu yang diperbolehkan atau dilarang. Jadi kapan-pun orang berziarah ke kuburan hukumnya adalah boleh, termasuk pada hari raya. Bahkan Sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib mengatakan :

" من السنة زيارة جبانة المسلمين يوم العيد وليلته "
"Di antara sunnah Nabi adalah berziarah ke kuburan kaum muslimin di siang hari raya dan malamnya".


Hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang saat Ziarah Kubur

            Dimakruhkan dengan sangat duduk di atas kuburan, menginjak kuburan dengan kaki tanpa ada kebutuhan, jika ada kebutuhan tidak dimakruhkan menginjak kuburan. Ini kalau memang tidak terdapat tulisan yang diagungkan di  atas kuburan.

            Diharamkan thawaf (mengelilingi) kuburan para wali seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di kuburan al Husein di Mesir. Melainkan yang seyogyanya dilakukan adalah berdiri di hadapan bagian kepala mayit, mengucapkan salam kepadanya lalu berdoa kepada Allah dengan mengangkat tangan atau tanpa mengangkat tangan.

            Meletakkan tangan di dinding kuburan hukumnya boleh. Sebagian ulama madzhab Syafi'i menganggap makruh hal itu. Sedangkan al Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan kalau tujuannya adalah untuk tabarruk boleh dan tidak bermasalah; yakni jika peziarah meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat kecuali Allah dan tujuannya adalah agar Allah menjadikan ziarahnya kepada seorang wali tersebut sebagai sebab mendapatkan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat.

T A L Q I N

Disunnahkan melakukan talqin setelah mayyit dikuburkan dengan sempurna. Talqin adalah mengatakan kepada mayit:
 "يا عبد الله يا ابن أمة الله  -ثلاث مرات- اذكر العهد الذي خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرءان إماما "

"Wahai hamba Allah, anak seorang perempuan hamba Allah – dengan disebut nama mayyit dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan ke Hawwa' - (dikatakan tiga kali), ingatlah perjanjian yang engkau yakini di dunia sampai engkau meninggal dunia; yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa engkau menerima dengan sepenuh hati Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu dan al Qur'an sebagai pemandu dan pembimbingmu".

            Jika mayitnya perempuan maka bunyi talqin adalah :
" يا أمة الله  ابنة أمة الله "

"Wahai hamba Allah perempuan, anak seorang perempuan hamba Allah – dengan disebut nama mayyit dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan ke Hawwa' - (dikatakan tiga kali)".

Hadits yang menjelaskan diperbolehkannya talqin terhadap mayit adalah hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam yang panjang yang diriwayatkan oleh al Hafizh Dliya'uddin al Maqdisi dalam kitabnya Al Mukhtarah. Mengenai status hadits tersebut al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Sanadnya adalah shalih dan adl-Dliya' menganggapnya kuat dalam al Mukhtarah".

Faedah dari talqin adalah seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut :
" فإن منكرا ونكيرا يقول أحدهما لصاحبه انطلق بنا ما يقعدنا عند رجل لقن حجته "
Maknanya : "Sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir, salah seorang berkata kepada yang lain : Marilah kita pergi , untuk apa kita duduk di dekat orang yang sudah diajarkan hujjahnya (dalam menjawab pertanyaan kita)".

            Jadi faedah dari talqin adalah bahwa mayyit akan terbebas dari pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakir dan selamat dari siksa kubur. [1] Talqin ini disunnahkan bagi mayit yang sudah baligh.

_________________________________
[1]. Ini adalah rahmat yang Allah berikan kepada orang yang ditalqin tersebut, seperti halnya orang yang diberikan oleh Allah karunia mati syahid dengan cara dibunuh secara zhalim atau karena kerobohan bangunan atau karena kebakaran dan semacamnya. Orang semacam ini tidak akan dikenai siksa kubur atau siksa akhirat meskipun ia pada masa hidupnya banyak melakukan maksiat dan dosa besar kepada Allah

PEREMPUAN YANG MELAKUKAN SAFAR (BEPERGIAN JAUH)

Termasuk salah satu maksiat badan adalah jika seorang perempuan melakukan safar dengan tanpa ada mahram atau semacamnya. Safar yang dimaksud adalah yang terhitung safar (bepergian jauh) dalam hitungan biasanya orang. Jadi yang dianggap sebagai safar itulah safar yang dimaksud. Karena dalam sebagian hadits yang melarang seorang perempuan untuk bepergian tanpa ada mahram atau semacamnya disebutkan jarak tiga hari perjalanan; Rasulullah r bersabda :

"لا تسافر المرأة مسيرة ثلاثة أيام إلا ومعها محرم" رواه البخاري ومسلم
Maknanya : "Tidaklah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan sejauh tiga hari kecuali jika bersamanya mahram"  (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain disebutkan dua hari perjalanan dalam hadits yang lain lagi jarak sehari perjalanan; Rasulullah r bersabda :
"لا تسافر المرأة مسيرة يوم وليلة إلا ومعها محرم" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Tidaklah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan sejauh sehari semalam  kecuali jika bersamanya mahram"  (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain lagi disebutkan jarak satu Barid ; yaitu jarak perjalanan separuh hari. Rasulullah r bersabda :
"لا تسافر المرأة بريدا إلا ومعها محرم" رواه أبو داود
Maknanya : "Tidaklah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan sejauh sehari semalam  kecuali jika bersamanya mahram"  (H.R. Abu Dawud)

             Ini menunjukkan bahwa keharaman melakukan perjalanan bagi seorang perempuan tanpa mahram atau suami yang dimaksud adalah jika dalam kebiasaan perjalanan tersebut disebut safar dengan melihat jauhnya jarak yang ditempuh.  Keharaman ini berlaku jika memang tidak ada keadaan darurat yang memaksa seorang perempuan untuk melakukan safar tanpa mahram atau semacamnya.  Sedangkan jika terdapat keadaan darurat maka hukumnya adalah boleh dan tidak haram. 

            Berikut adalah beberapa contoh keadaan darurat yang dimaksud:

- Jika seorang perempuan mengkhawatirkan keselamatan dirinya di tempat ia tinggal.
 - Jika seorang perempuan tidak dapat memperoleh penghasilan yang pasti (tidak bisa tidak) diperlukannya untuk keperluan  makanan, pakaian dan tempat tinggal.
 - Jika seorang perempuan bertujuan mempelajari ilmu agama yang dlaruri dan tidak ditemukan orang yang bisa mengajarinya dengan benar di kampungnya.
- Jika terdapat suatu permasalahan yang diperlukan oleh seorang perempuan untuk mengetahui hukumnya dan dia tidak menemukan di daerahnya orang yang bisa memberinya fatwa hukum yang benar tentang permasalahan tersebut.
- Jika seorang perempuan memiliki ayah atau ibu yang ia khawatirkan terlantar kalau ia tidak pergi melihatnya.


            Sedangkan untuk bepergian haji dan umrah, seorang perempuan hanya boleh pergi tanpa mahram atau suami untuk tujuan haji dan umrah yang wajib. Jadi jika seorang perempuan hendak bepergian haji hendaklah pergi dengan suaminya, atau seorang mahram, atau beberapa perempuan yang terpercaya yang sudah baligh atau mendekati baligh, bahkan menurut sebagian ulama meskipun hanya satu orang. Jika tidak bisa mengajak orang-orang tersebut maka ia hanya boleh bepergian untuk haji yang wajib saja. Ini menurut pendapat Imam Syafi'i saja. Sedangkan menurut para imam yang lain seperti al Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad menurut mereka tidak boleh seorang perempuan bepergian haji tanpa mahram baik untuk tujuan haji yang wajib maupun yang sunnah.

            Jadi untuk selain tujuan haji yang wajib seperti haji yang sunnah seorang perempuan tidak boleh melakukan safar sendirian, meskipun ada beberapa orang perempuan yang terpercaya, baik untuk tujuan berziarah ke makam Rasulullah atau berziarah ke makam para wali  apalagi untuk tujuan berekreasi. Jika seorang perempuan melakukan perjalanan jauh tanpa mahram atau suami tanpa ada keadaan darurat yang memaksanya pergi  maka ia telah melakukan dosa kecil.

KEHUJJAHAN IJMA’

 
Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa ijma' (kesepakatan) para ahli ijtihad adalah perkara yang haqq, dan orang yang menyalahinya telah tersesat karena ummat Islam tidak akan bersepakat (bersatu) dalam kesesatan. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa sahabat Abu Mas'ud al Badri –semoga Allah meridlainya-  mengatakan :

          " إن الله لا يجمع أمة محمد على ضلالة "  (رواه الحافظ ابن حجر)
"Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat Muhammad di atas kesesatan" (H.R. Ibnu Hajar)

            Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
"إن أمتي لا تجتمع على ضـلالة ، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسـواد الأعظم "
Maknanya: "Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu atas suatu kesesatan, jadi jika kalian melihat adanya perpecahan bergabunglah dengan jumlah yang mayoritas di antara mereka".

            At-Turmudzi juga meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
"إن الله لا يجمع أمتي" أو قال: "أمة محمد على ضلالة ، ويد الله مع الجماعة ، ومن شذ شذ إلى النار "
Maknanya : "Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat-Ku (atau beliau berkata Ummat Muhammad) di atas kesesatan, Allah senantiasa melindungi  al Jama'ah -kelompok mayoritas- dan barang siapa memisahkan diri (dari mayoritas) maka ia akan terpisah di neraka".

Hadits ini menunjukkan bahwa bersatu (berkumpul)-nya kaum muslimin adalah sesuatu yang menghasilkan kebenaran dan yang dimaksud dengan bersatu-nya kaum muslimin adalah ijma'-nya para ulama'.

            Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : "Perkataan ar-Rafi'i : Dan ummat Muhammad terpelihara (maksum) dan tidak akan bersatu atas suatu kesesatan. Ini terdapat dalam hadits yang masyhur, memiliki banyak jalur (thariq) yang masing-masing tidak lepas dari kritik. Di antaranya jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Malik al Asy'ari bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

" إن الله أجاركم من ثلاث خلال : أن لا يدعو عليكم نبيكم لتهلكوا جميعا ، وأن لا يظهر أهل الباطل على أهل الحق ، وأن لا يجتمعوا على ضلالة ".
Maknanya : "Sesungguhnya Allah melindungi (menyelamatkan) kalian dari tiga hal : bahwa Nabi kalian tidak akan mendoakan agar kalian musnah semuanya, ahlul bathil tidak akan pernah mengalahkan ahlul haqq dan kalian tidak akan bersatu di atas kesesatan".

Dalam sanad hadits ini terdapat inqitha' (keterputusan sanad).

At-Tirmidzi dan al Hakim juga meriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu' bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
          " لا تجتمع هذه الأمة على ضلال أبدا "
Maknanya : "Ummat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan, selamanya".

Dalam hadits ini terdapat Sulaiman ibn Sufyan al Madani, seorang perawi yang dla'if. Al Hakim meriwayatkan beberapa syahid untuk hadits ini.

            Mungkin juga digunakan sebagai dalil untuk masalah ini hadits Mu'awiyah yang marfu' :
"لا يزال من أمتي أمة قائمة بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله " أخرجه الشيخان
Maknanya : "Akan senantiasa ada di antara ummat ini golongan yang melaksanakan ajaran Allah dengan sempurna, tidak berbahaya bagi mereka orang yang tidak memperdulikan atau menyalahi mereka hingga tiba hari kiamat". (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Dalil yang bisa diambil dari hadits ini bahwa dengan adanya kelompok ini yang melaksanakan semua perintah Allah dengan sempurna hingga tiba hari kiamat tidak akan terjadi kesepakatan di atas kesesatan.

            Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Yasiir bin 'Amr, ia berkata : Kami mengantar Ibnu Mas'ud ketika pergi meninggalkan Madinah, Ibnu Mas'ud singgah sebentar di jalan menuju al Qadisiyyah lalu masuk kebun dan buang air, kemudian ia berwudlu' dan mengusap dua kaos kakinya kemudian keluar dan janggutnya masih menetes air darinya, lalu kami berkata kepadanya : Berilah pesan terpenting bagi kami, karena orang sudah banyak yang terjatuh dalam fitnah  dan kami tidak tahu apakah kami akan bertemu denganmu lagi atau tidak !, Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan :
" اتقوا الله واصبروا حتى يستريح بر أو يستراح من فاجر ، وعليكم بالجماعة فإن الله لا يجمع أمة محمد على ضلالة  "
"Bertakwalah kepada Allah hingga orang yang baik tenang (tidak terganggu) atau orang yang jahat diambil oleh Allah, dan tetaplah bersatu dengan al Jama'ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat Muhammad di atas kesesatan".

Sanad hadits ini sahih, dan hal semacam ini tidak mungkin dikatakan oleh Ibnu Mas'ud dari pendapat pribadinya, malainkan diambil dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam.  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan jalur lain dari Nu'aym ibn Abi Hind bahwa Abu Mas'ud keluar meninggalkan Kufah, maka beliau mengatakan :
 "وعليكم بالجماعة فإن الله لم يكن ليجمع أمة محمد على ضلال "
"Dan tetaplah bersatu dengan al Jama'ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat Muhammad di atas kesesatan".

            Ad-Darimi juga meriwayatkan dari 'Amr ibn Qays secara marfu' :
" نحن الآخرون ونحن السابقون يوم القيامة "وفي آخره : "وإن الله وعدني في أمتي وأجارهم من ثلاث : لا يعمهم بسنة ، ولا يستأصلهم عدو ، ولا يجمعهم على ضلالة ".
Maknanya : "Kami adalah ummat yang terakhir dan paling awal masuk surga di hari kiamat" , dan di akhir hadits ini : "Dan sesungguhnya Allah berjanji kepadaku untuk ummatku dan melindungi mereka dari tiga hal : tidak terkena kelaparan yang merata, tidak akan dihabisi oleh musuh dan tidak akan disatukan di atas kesesatan". (H.R. ad-Darimi)

            Al Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Dzarr secara marfu' bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
" اثنان خيـر من واحد وثلاث خيـر من اثنين وأربعة خيـر من ثلاثة ، فعليكم بالجماعة فإن الله عز وجل لن يجمع أمتي إلا على هدى "
Maknanya : "Dua orang lebih selamat dari jika orang sendirian, tiga orang lebih baik dari dua orang dan empat orang lebih baik dari tiga, jadi tetaplah bersatu dengan al Jama'ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat-ku kecuali di atas petunjuk dan  kebenaran".

            Kebenaran ijma' ini juga telah dijelaskan oleh sekian banyak ulama Ahlussunnah dan mereka menegaskan bahwa ijma' tidaklah khusus terjadi pada masa sahabat saja. Di antara para ulama tersebut adalah al Imam asy-Syafi'i, ath-Thahawi, as-Subki, az-Zarkasyi, al Khathib al Baghdadi, al Asfarayini, Ibnu Amiir al Hajj dan lain-lain.

            Bahkan telah dinukil dengan sahih bahwa al Imam Ahmad menukil ijma' dalam beberapa masalah sebagaimana dinyatakan oleh al Imam Ibnu al Mundzir, al Hafizh Ibn al Jawzi dan lainnya.
            Allah ta'ala berfirman :
 )ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غيـر سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيـرا (  (سورة النساء : 115 )
Maknanya: “Dan barang siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang ia kuasai itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali (Q.S. an-Nisa: 115)

Al Qurthubi mengatakan dalam Tafsir-nya : "Para ulama' mengatakan tentang ayat ini : ayat ini adalah dalil kebenaran mengikuti ijma'". Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsir-nya: "Yang dijadikan referensi oleh al Imam asy-Syafi'i dalam berhujjah bahwa ijma'  adalah hujjah yang haram untuk disalahi adalah ayat ini, ini beliau temukan setelah merenung dan berfikir lama. Ini termasuk istinbath yang sangat bagus dan sangat kuat".

AURAT PEREMPUAN ADALAH SELURUH TUBUHNYA SELAIN MUKA DAN KEDUA TELAPAK TANGAN


Para ulama mujtahid telah menyepakati (ijma') bahwa seorang perempuan boleh keluar rumah dalam keadaan terbuka wajahnya dan keharusan bagi orang laki-laki untuk tidak memandang dengan syahwat, jika memang perempuan tersebut menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Ijma' ini telah dinukil oleh banyak ulama, di antaranya al Imam al Mujtahid Ibnu Jarir ath-Thabari, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam al Ikmal, Imam al Haramayn al Juwayni, al Qaffal asy-Syasyi, al Imam ar-Razi, bahkan Ibnu Hajar al Haytami menukil dari sekelompok ulama yang menyebutkan ijma' dalam masalah ini.

            Allah ta'ala berfirman :
 )ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها  (  (سورة النور : 31 )
Maknanya: “Dan tidak bolah bagi mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari perhiasan tersebut” (Q.S. an-Nur: 31)
As-Sayyidah 'Aisyah dan Abdullah ibn 'Abbas –semoga Allah meridlai mereka-    إلا ما ظهر منها : "adalah muka dan kedua telapak tangan". Hal serupa juga dikemukakan oleh al Imam Ahmad.

            Di antara dalil yang menunjukkan kepada hukum ini adalah hadits perempuan Khats'amiyyah yang diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Darimi dan Ahmad dari jalur 'Abdullah ibn 'Abbas, ia berkata : "Di pagi hari raya 'Iedul Adlha datang seorang perempuan dari kabilah Khats'am dan bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas ayahku ketika beliau sudah tua dan tidak bisa lagi naik kendaraan, apakah aku bisa berhaji untuknya ? Rasulullah menjawab : berhajilah untuknya. Ibnu 'Abbas berkata : perempuan tersebut adalah perempuan cantik, al Fadl-pun melihat kepadanya, ia terpesona dengan kecantikannya, maka Rasulullah memalingkan leher al Fadl ke arah lain". Dalam riwayat at-Tirmidzi dari jalur 'Ali : "Perempuan itu juga melihat kepada al Fadl, ia terpesona oleh ketampanannya, kemudian al 'Abbas berkata : Wahai Rasulullah, kenapa engkau palingkan leher anak pamanmu ? Rasulullah menjawab : Aku melihat seorang pemuda dan pemudi, aku tidak menjamin selamat keduanya dari setan", at-Turmudzi berkata : Hadits ini hasan sahih. Ibnu 'Abbas berkata : "Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat yang mewajibkan Hijab".

Dalil yang bisa diambil dari hadits ini bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam tidak memerintahkan perempuan Khats'amiyyah yang cantik ini untuk menutup mukanya. Mungkin ada orang yang berkata : Bukankah ia sedang ihram (pantaslah ia tidak menutup mukanya karena hal itu memang dilarang) ! Jawabannya :  Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya Rasulullah akan memerintahkan perempuan tersebut untuk melambaikan kain di atas muknya tanpa menyentuh kulit muka dengan merenggangkan (antara kain dan muka) dengan memakai sesuatu untuk memnuhi kemaslahatan ihram tersebut. Tapi ternyata Rasulullah tidak memerintahnya. Ini menunjukkan bahwa menutup muka bagi perempuan tidak wajib hukumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baik dan disunnahkan.

            Para ulama juga telah sepakat bahwa perempuan dimakruhkan baginya menutup muka dan memakai cadar dalam sholat dan bahwa hal itu diharamkan saat ihram.

            Sedangkan kewajiban menutup muka itu hanya berlaku khusus bagi isteri-isteri Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud dan lainnya. Al Hafizh Ibnu Hajr mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : "Abu Dawud mengatakan : ini (kewjiban menutup muka) hanya berlaku bagi isteri-isteri Rasulullah secara khusus dengan dalil hadits Fathimah binti Qays. Aku (Ibnu Hajar) mengatakan : Ini adalah pemaduan yang bagus, dengan ini pula al Mundziri melakukan pemaduan dalam Hawasyi-nya dan itu dianggap baik oleh guru kami". Maksud Ibnu Hajar bahwa sabda Nabi riwayat Abu Dawud kepada kedua isterinya :
          " احتجبا منه "
Maknanya : "Pakailah hijab darinya ".

Ketika Ibnu Ummi Maktum yang buta datang, perintah ini adalah khusus bagi isteri-isteri Rasulullah, karena dikompromikan dengan hadits Fathimah binti Qays riwayat Muslim bahwa Rasulullah berkata kepadanya : "Lakukanlah 'iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia adalah orang buta, kamu bisa meletakkan pakaianmu di sana". Jadi jelas dalam hal ini Rasulullah dalam hukum membedakan antara isterinya dengan yang bukan isterinya. Abu al Qasim al 'Abdari, penulis at-Taj wa al Iklil bisyarh Mukhtashar Khalil mengatakan : "Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa kewajiban menutup muka hanya khusus bagi isteri-isteri Nabi shallallahu 'alayhi wasallam ".

            Sedangkan firman Allah ta'ala :
) يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا (  (سورة الأحزاب : 59 )
Maknanya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang” (Q.S. al Ahzab: 59)

 Dalam ayat ini, Allah mengatakan  "  عليهن " ; atas tubuh mereka, bukan  " على وجوههن "  ; atas muka mereka. Jadi ayat ini maknanya sama dengan ayat yang lain, yaitu :
          ) وليضربن بخمرهن على جيوبهن (  (سورة النور : 31 )
Maknanya: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” (Q.S. an-Nur: 31)
Maksud kedua ayat ini adalah perintah yang mewajibkan menutup leher  dan bagian atas dada. Ayat 59 dari surat al Ahzab ini memerintahkan demikian untuk membedakan antara perempuan yang merdeka dan budak. Demikian dijelaskan makna kedua ayat tersebut oleh al Hafizh al Mujtahid 'Ali ibn Muhammad ibn al Qaththan al Fasi dalam kitabnya an-Nazhar fi  Ahkam an-Nazhar.

            Makna Khimar adalah kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutup kepalanya. Al Jayb  adalah lubang di ujung baju atas di dekat leher. Jilbab adalah kain lebar yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menyelimuti tubuhnya setelah pakaiannya lengkap, jilbab ini disunnahkan dipakai oleh perempuan.

            Jadi ayat  " يدنين عليهن من جلابيبهن "   tidak  berisi  kewajiban menutup muka, melainkan maksudnya adalah menutup leher dengannya sebagaimana dikatakan oleh 'Ikrimah bahwa makna ayat tersebut perintah menutup lekukan bagian atas dada, karena sebelum turunnya ayat hijab ini para wanita muslimah melakukan seperti yang dilakukan oleh perempuan di masa jahiliyyah, yaitu meletakkan kerudung di atas kepala dan diulurkan ke belakang jadi lehernya nampak.

            Firman Allah "  ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين "  : "Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu". Maksudnya adalah wanita-wanita merdeka lebih selamat dari gangguan orang-orang yang usil ketika mereka berbeda penampilan dengan para budak perempuan. Karena orang-orang fasik tersebut akan mengganggu wanita merdeka kalau mereka mengiranya budak. Jadi ketika seorang wanita merdeka menutup kepala dan lehernya ia akan selamat dari gangguan orang-orang fasik tersebut karena sudah ada tanda pembeda antara keduanya. Sedangkan para budak wanita memang tidak diwajibkan menutup leher dan kepala ketika keluar.